novel Catatan Hati Seorang Isteri

Catatan Hati Seorang Isteri

lainnya yang kadang menari-nari dalam kepalaku.

Tapi semua sudah terjadi, dan tak ada yang bisa kulakukan selain menerimanya dengan ikhlas. Setidaknya, empat bulan sekali aku masih bisa melihat sulungku yang datang berkunjung.

Kini aku sudah menikah lagi. Punya rumah tangga yang bahagia. Punya suami yang baik, setia, bertanggung jawab, sayang padaku dan keluarga. Dia bahkan begitu cinta pada anak sulungku. Pernikahan kami makin indah setelah putri kecil kami lahir. Suami begitu telaten merawat putri kami.

Mulai dari meninabobokan, memandikan, bahkan mengganti popok pun dia ahli.

Tak ada alasan untuk cemburu karena kemana pun dia pergi, keterangan yang jelas dia berikan. Mulai pergi kemana, dengan siapa, meeting dimana dan jam berapa kira-kira akan pulang. Komunikasi kami selalu terjalin meski hanya lewat SMS. Hingga aku betul-betul tak perlu merasa cemburu. Aku bahkan lupa bagaimana rasanya cemburu.
(Kaitlyn)
Baca cerita silat dan novel online

Catatan 3
Rombongan Gadis Yang Melamar Suami Saya


“Apa yang bisa saya katakan, ketika melihat seorang gadis bersama rombongan keluarganya datang dan melamar suami saya?”

Satu hal yang tak pernah lupa saya syukuri dari rangkaian acara launching buku atau temu penulis yang harus saya hadiri, adalah kesempatan untuk bertemu dan belajar dari banyak orang.

Seperti pada acara launching buku Kisah Kasih dari Negeri Pengantin (yang dicetak ulang dengan judul: Kisah Seru Pengantin Baru), yang membawa saya ke Makassar.

Acara yang bertempat di ruang pertemuan kecil di salah satu rumah makan terkenal itu bukanlah acara utama.

Kegiatan sebenarnya adalah diskusi kepenulisan terkait buku baru saya saat itu, Aku Ingin Menjadi Istrimu.

Sedikit terlambat hadir pembicara lain, yang segera mengambil tempat di sisi saya. Pada pandangan pertama, saya sudah dibuat terkesan oleh Ustadzah yang usianya lebih dari separuh abad itu. Saya bisa merasakan sikapnya yang tenang, bijak dan meneduhkan.

Hanya saja saya tidak mengira, momen peluncuran buku baru yang berisi kisah-kisah pernikahan dari proses hingga adaptasi dan semua perniknya, menyentuh hati Ustadzah hingga tergerak membagi satu bagian dalam hidupnya, yang selama ini tidak pernah dibicarakannya secara terbuka.

“Apa yang bisa saya katakan, ketika melihat seorang gadis bersama rombongan keluarganya datang dan melamar suami saya?”
Gadis baik-baik. Pertemuan si gadis dan suami Ustadzah berlangsung di luar kota, kebetulan sang suami memang sering bepergian dalam waktu cukup lama.

“Tentu saja saya sedih, terpukul… tetapi di sisi lain saya juga menyadari: suami saya orang baik, pintar, saleh. Wajar jika ada perempuan lain yang jatuh cinta, kan? Padahal selisih usia mereka cukup jauh.”

Dengan suara tertahan, Ustadzah melanjutkan kisahnya,
“Saya sempat bertanya kepada Allah, kenapa ujian ini diturunkan sekarang? Di saat usia saya jauh dari muda.

Saya terus mencoba mencari jawaban.”
Seperti audiens, saya pun tersihir untuk terus mengikuti kisah yang dituturkan perempuan berjilbab itu.

“Lalu tiba-tiba saya melihat kejadian ini bukan sebagai ujian, melainkan pertolongan Allah. Bagaimana pun saya sudah tua. Mungkin karena itu Allah ingin meringankan beban dan tanggung jawab saya sebagai istri. ”

Ada air mata yang menitik. Bentuk kepasrahan perempuan itu. Kami belum lama berjabat tangan tetapi sikap dan upayanya berpikir positif, membuat saya dengan cepat berempati,

“Hari-hari saya setelah itu adalah doa. Saya terus menghitung nikmat Allah yang lain.Saya sadar Allah telah memberi saya banyak sekali kebahagiaan. Salah satunya anak-anak. Yang hingga besar, belum pernah melukai hati saya. Prestasi akademis mereka pun luar biasa. Satu hal yang menggembirakan saya, untuk keputusan-keputusan penting dalam hidup, mereka selalu menimbang perasaan saya, menanyakan keridhaan saya.”
Ada sejuk yang tiba-tiba menyapa hati.

Sebagai sesama perempuan, saya tidak bisa membayangkan betapa kuatnya sosok yang berdiri di samping saya. Sementara saya mungkin akan ber sikap seperti kebanyakan perempuan yang hanya bisa menangis, tergugu dan tiba-tiba merasa kehilangan pegangan, jika suami harus membagi kasih, cinta dan perhatiannya pada perempuan lain.

Ketika acara selesai dan kami berjabatan tangan untuk terakhir kali, saya menatap kedua mata Ustadzah yang teduh, seraya diam-diam berdoa.

Semoga Allah pun menjaga mata dan hati saya, agar selalu bisa menangkap hikmah, betapapun kesedihan membenamkan. Amin.
Baca cerita silat dan novel online
Kebanggaan seoarang isteri
“Saya tidak punya kelebihan seperti kalian. Dan bisa menikah dengan lelaki ini jauh melampaui impian saya!”

Kami mengenalnya sejak masa kuliah. Seorang muslimah berjilbab yang selalu merasa dirinya biasa-biasa saja.

“Saya tak punya kelebihan seperti yang lain,” kalimatnya suatu hari, yang dengan cepat kami bantah.

“Sungguh. Kamu bisa menulis, Asma. Sedang kamu jago memasak dan kamu pintar dalam hampir semua mata kuliah.” Ujarnya sambil menunjuk muslimah yang lain.

“Semua orang pasti punya kelebihan.” Saya bersikeras.

Si Muslimah menggeleng, “kecuali saya.”

Perdebatan kami berlangsung seru.

“Saya bukannya tidak bersyukur atas semua yang Allah berikan,” tukasnya lagi membela diri. “Tetapi?”

“Tapi kenyatannya saya memang tidak memiliki sebuah potensi yang bisa dibanggakan. Tidak seperti yang lain.”

Sewaktu tahun-tahun kuliah berlalu, dialog itu hampir terlupakan. Hingga saya bertemu lagi dengannya suatu sore.

Wajah muslimah tersebut sumringah.Senyumnya terus mengembang, dan keriangan di matanya seperti kerlip bintang yang bisa saya lihat saat menengadah dari halaman rumah.

“Saya akan menikah,” katanya.
“Benarkah?” Begitu mendadak, pikir saya. Tapi mungkin memang tidak perlu waktu banyak untuk merasakan sang jodoh telah tiba. Seperti yang saya dan teman-teman lain rasakan. Kami gembira, salah satu teman yang belum menikah sebentar lagi akan menggenapkan separuh dien.

“Dengan siapa?” Pipinya yang putih segera merona kemerahan. Lalu dengan senyum yang tak juga hilang, muslimah tersebut menceritakan perkenalannya dengan seorang pria berkewarganegaraan asing.

“Tidakkah terlalu cepat?” Seorang diantara kami bertanya. Muslimah tersebut menggeleng. Lalu dengan semangat berapi-api mengungkapkan kelebihan-kelebihan sang calon.

“Orangnya ganteng.”
Kami semua tertawa mendengarnya, bukan karena tak percaya, tapi melihat bagaimana tingkah si muslimah yang sampai mengacungkan dua ibu jarinya.

“Terus?”
“Saya bertemu dia di perpustakaan.”

“Lalu?”

“Lalu lelaki itu mengikuti saya, dan memberikan kartu namanya, sambil memohon saya memberikan alamat agar dia bisa datang dan…”

“Dan?”
Kami semua menunggu. Muslimah tersebut nyaris berteriak ketika menuntaskan kalimatnya, “Dan dia bisa melamar saya!” Ajaib!

Seperti dongeng. Pikir teman-teman saya ketika itu.
Sejujurnya batin saya membisikkan sesuatu yang aneh.

Entah kenapa, semuanya serba too good to be true. Dan alarm hati saya selalu menjadi lebih sensitif setiap kali berhadap dengan segala sesuatu yang terlalu sempurna.

“Jangan tergesa-gesa dulu,” ujar saya.

“Kenapa?”

“Kamu harus kenal lelaki itu dengan lebih baik.”

“Sudah!” jawabnya cepat.

“Dan?”
“Dia pernah menikah, tapi sudah bercerai. Mantan istrinya kini tinggal di luar negeri.”